BAB II
PEMBAHASAN
2.1. IJMA’
2.1.1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat atau setuju atau sependapat, sedangkan menurut istilah ialah:
إتِّفَاقُ مُجْتَهِدى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ص م. بَعْدَ وَفَاتِهِ فِى عَصْرٍ مِنَ الْأَعْصَارِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ.
“ Kebulatan pendapat semua ahli ijtuhad umat Muhammad, sesudah wafat pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).”
Sedangkan Ijma’ menurut ulama ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijma’.
Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hukum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “Setelah wafatnya Rasul”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang.
2.1.2. Unsur-Unsur Ijma’
Dalam definisi telah disebutkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hukum syara’. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa ijma’ dianggap sah menurut syara’ bila mencakup unsur-unsur:
Pertama: Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul (masih hidup) tidak ada ijma’, karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
Kedua: Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syi’ah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara’. Karena ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia Islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
Ketiga: Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Atau diungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkap secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia Islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
Keempat: Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara’ yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
2.1.3. Kekuatan Ijma’ Sebagai Hujjah
Bila keempat unsur ijma’ tersebut terpenuhi – yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa itu – maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Bagi mujtahid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum telah ditetapkan dengan ijma’ tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah antara lain:
1. Sebagaimana Allah SWT. Dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, Dia juaga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’:59)
Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagai ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas, menafsirkan kata Ulil Amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirkannya dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hukum syara’, yakni para mujtahid, maka wajib didikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”. (QS. An-Nisa’: 83)
Allah SWT juga mengancam orang-orang yang menentang Rasul dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dengan firman-Nya:
• • •
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115)
Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan orang yang menentang jalan orang-orang mukmin sebagai kawan orang-orang yang menentang rasul.
2. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadis dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersaman) dari kesalahan, antara lain:
لاَ تَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى خَطَإٍ.
“Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan”.
مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah SWT”.
Ketidakmungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian. Perbedaan sudut pandang, lingkungan dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan yang menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.
3. Ijma’ atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syara’; seperti istihsan dan istishab, atau dengan cara menjaga adat kebiasaan dan kemaslahatan umum. Bila ijtihad seorang mujtahid saja harus didasarkan pada sandaran syara’, maka kesepakatan para mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian adalah bukti adanya sandaran syara’ yang menunjukkan kepastian atas hukum tersebut. Seandainya yang digunakan sandaran adalah dalil dugaan, niscaya menurut kebiasaan tidak mungkin memunculkan suatu kesepakatan. Karena hal yang bersifat dugaan pasti menimbulkan perbedaan pemahaman.
2.1.4. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ dibagi menjadi dua, diantaranya ialah:
1. Ijma’ Sharih : yaitu para mujtahid pada masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti : ialah sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
Ijma’ sharih adalah ijma’ yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijma’ Sukuti adalah ijma’ yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’. Dengan demikian kehujjahan Ijma’ ini masih diperselisihkan: Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukan ijma’, ia hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu.
2.2. QIYAS
2.2.1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah:
اْلقِيَاسُ لُغَةً تَقْدِيْرُ الشَّيْءِ بِأخَرَ لِيُعْلَمَ الْمُسَاوَاةُ بَيْنَهُمَا.
“Qiyas menurut bahasa ialah, mengukurkan sesuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya”.
Sedangkan Qiyas menurut istilah ialah : menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.
2.2.2. Unsur-unsur Qiyas
1. Al-Ashlu, kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash. Disebut juga al Maqiys’alaih, al Mahmuul’alaih dan al Musyabbah bih (yang digunakan sebagai ukuran, perbandingan atau yang dipakai untuk menyamakan ).
2. Al Far’u, kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah untuk disamakan dengan al Ashlu dalam hukumnya. Disebut juga al Maqiys, al Mahmuul dan al Musyabbah (yang diukur, dibandingkan dan disamakan).
3. Al Hukmul Ashliy, hukum syara’ yang dibawa oleh nash dalam masalah asal. Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
4. Al ‘illah, alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang berdasarkan adanya illat itu pada masalah baru maka masalah baru itu disamakan dengan masalah asal dalam hukumnya.
2.2.3. Macam-macam Qiyas
Qiyas ada empat macam : (1). Qiyas Aulawi, (2). Qiyas Musawi, (3). Qiyas Dilalah, (4). Qiyas Syibh. Qiyas Aulawi dan Qiyas Musawi, biasa disebut qiyas ‘illat karena qiyas-qiyas ini mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan ‘illatnya.
1. Qiyas Aulawi (lebih-lebih)
Qiyas Aulawi ialah qiyas yang ‘illatnya sendiri menetapkan adanya hukum, sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada ashal. Seperti haramnya memukul ibu bapak yang diqiyaskan kepada haramnya memaki mereka, dilihat dari segi ‘illatnya ialah menyakiti, apalagi memukul lebih-lebih menyakiti.
2. Qiyas Musawi (bersamaan ‘illatnya)
Qiyas Musawi ialah ‘illatnya sama dengan ‘illat qiyas aulawi, hanya hukum yang berhubungan dengan cabang (far’i) itu setingkat dengan hukum ashalnya. Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim kepada membakarnya, dilihat dari segi ‘illatnya sama-sama melenyapkan.
3. Qiyas Dilalah (menunjukkan)
Qiyas Dilalah ialah yang ‘illatnya tidak menetapkan hukum, tetapi menunjukkan juga adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya zakat harta benda anak-anak yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa, dengan alasan kedua-duanya merupakan harta yang tumbuh.
4. Qiyas Syibh (menyerupai)
Qiyas Syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal ke mana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang dibunuh, dapat qiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam; dapat juga diqiyaskan dengan ternak karena kedua-duanya adalah harta benda yang dapat dimiliki, dijual, diwaqafkan, dan diwariskan. Dengan demikian, tentu lebih sesuai diqiyaskan dengan harta benda semacam ini karena dapat dimiliki dan diwariskan.
2.2.4. Kehujjahan Qiyas
Para ulama tidak sama pendapatnya tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-hukum syari’at atau agama dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
1. Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbath hukum-hukum syara’ atau agama.
Alasan mereka adalah :
a) Firman Allah SWT,
“Maka ambillah i’tibar (pelajaran), Hai orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Al-Hasyar : 2)
I’tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubuur yang artinya, melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari hukum asal (pokok) kepada hukum soal cabang (furu’). Jadi qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut di atas kata mereka.
b) Firman Allah yang berbunyi:
Jika kalian bertentangan Pendapat dalaam sesuatu urusan, Maka kembalikanlah (urusan itu) kepada Allah (Al Quran) dan Rasul-Nya (sunnahnya).” (An-Nisa’: 59).
2. Sebagian ulama Syi’ah, dan segolongan dari ulama Mutazilah seperti An-nazzam juga ulama-ulama dhahiriyah. Mereka tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
Alasan mereka ialah, bahwa semua peristiwa (perkara) sudah ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan sunnah baik yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau tidak seperti isyarat nash (hukum yang tersirat) atau yang menunjukkan nash. Karena itu kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.
3. Al-quffalusysyasyi dari golongan Syafi’iyah, dan Abul Hasan Al-Bashri dari golongan Mu’tazilah. Keduanya berpendapat, bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan.
Alasan mazhab ketiga ini, seperti juga alasan pada mazhab yang pertama diatas tadi, yakni berdasarkan dalil-dalil dan dialog Mu’az dengan Rasul sewaktu akan dikirim oleh Rasul untuk menjadi qadhi di yaman.
Minggu, 04 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar